Pada Senin (3/4) Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO merilis laporan terbaru tentang kesehatan reproduksi. Laporan tersebut menunjukkan adanya masalah infertilitas yang serius, sebanyak 1 dari 6 orang dewasa di seluruh belahan dunia mengalami masalah kesuburan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh WHO, isu ini tidak melihat kondisi kesejahteraan masyarakat maupun status pembangunan suatu negara. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi di negara berpenghasilan tinggi sebesar 17,8%, hampir sama dengan prevalensi di negara berpenghasilan rendah sebesar 16,5%.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, laporan ini mengungkap poin penting bahwa infertilitas bisa dialami siapa saja, tanpa diskriminasi. “Banyaknya orang di dunia yang menderita infertilitas menunjukkan bahwa masalah ini harus menjadi perhatian utama dalam penelitian dan kebijakan kesehatan,” ujarnya.
KTT G20 INDONESIA 2022 (ANTARA PHOTO/G20 Media Center Indonesia/Aditya Pradana Putra/nama.)
Definisi dan Penyebab Infertilitas
WHO mendefinisikan infertilitas sebagai penyakit pria dan wanita yang ditandai dengan kegagalan mencapai kehamilan setelah sering melakukan hubungan seksual tanpa pengaman selama 12 bulan atau lebih. Sementara Kementerian Kesehatan mendefinisikan infertilitas sebagai kondisi gagalnya pembuahan sperma dan sel telur, ketidakmampuan pasangan menghasilkan keturunan setelah melakukan hubungan seksual selama 1 tahun tanpa kontrasepsi.
Infertilitas terbagi menjadi dua, yaitu infertilitas primer dan sekunder. Infertilitas primer terjadi ketika pasangan tidak pernah memiliki anak atau tidak pernah hamil sama sekali. Infertilitas sekunder didefinisikan sebagai kondisi ketika pasangan memiliki setidaknya satu anak, tetapi mengalami kesulitan untuk hamil lagi.
Kementerian Kesehatan membagi penyebab infertilitas pria menjadi tiga faktor. Faktor pertama disebut sebagai faktor pretesticular berkaitan dengan gangguan hormonal yang dapat mempengaruhi pembentukan sperma. Faktor kedua adalah faktor testis yang berhubungan dengan kesehatan testis. Lalu, faktor ketiga, yang disebut post testis, merupakan faktor di luar testis setelah spermatozoa keluar dari tubulus seminiferus — struktur jaringan di dalam testis pria yang berfungsi memproduksi sel sperma.
Dalam sistem reproduksi wanita, WHO menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan kemandulan, antara lain:
– gangguan tuba falopi yang dapat disebabkan oleh infeksi menular seksual (IMS), komplikasi aborsi yang tidak aman, sepsis postpartum, dan operasi panggul.
– Gangguan rahim seperti endometriosis, pertumbuhan fibroid, dll
– gangguan ovarium, seperti sindrom ovarium polikistik dan gangguan folikel
– Gangguan pada sistem endokrin yang menyebabkan ketidakseimbangan hormon reproduksi
Selain faktor tersebut, WHO mengatakan faktor gaya hidup bisa menjadi pemicu infertilitas, baik pada pria maupun wanita. Faktor gaya hidup yang dimaksud adalah merokok, konsumsi alkohol berlebihan, dan paparan polutan, yang dapat menurunkan tingkat kesuburan.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan menunjukkan angka kejadian infertilitas sekitar 10-15%. Artinya, ada 4-6 juta pasangan dari 39,8 juta pasangan usia subur yang memiliki masalah kesuburan dan membutuhkan penanganan lebih lanjut untuk bisa hamil.
Negara yang Dihantui Pertumbuhan Penduduk Nol
Masalah infertilitas yang dialami oleh sebagian penduduk dunia erat kaitannya dengan penurunan pertumbuhan penduduk yang dialami oleh beberapa negara. Beberapa negara sedang memasuki fase krisis, seperti Jepang.
Pada akhir Maret, Reuters dan Japan Today melaporkan kelulusan akhir siswa SMA di Jepang utara, SMP Yumoto. Yumoto menutup gerbangnya untuk selamanya setelah 76 tahun sebagai salah satu pusat pendidikan bagi kaum muda di daerah pegunungan Jepang utara. “Kami mendengar sekolah akan ditutup pada tahun kedua kami di sekolah ini, tapi saya tidak pernah membayangkan ini akan benar-benar terjadi,” kata Eita Sato, 15 tahun, salah satu murid terakhir Yumoto, seperti dikutip dari Japan Today.
Yumoto bukan satu-satunya. Menurut data pemerintah Jepang, sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahun. Total sejak 2002-2020 ada 9.000 sekolah di berbagai tingkatan yang ditutup selamanya karena kekurangan murid.
Sejak 2022, pertumbuhan populasi Jepang turun hingga di bawah 800.000, terendah dalam sejarah negara itu. Di sisi lain, Jepang telah kehilangan lebih dari tiga juta penduduk selama 2011-2021.
Penurunan populasi terjadi karena beberapa faktor yang tumpang tindih, salah satunya adalah infertilitas. Faktor lain yang sering muncul dalam diskusi adalah biaya membesarkan anak yang sangat tinggi, dipengaruhi oleh tingginya rata-rata biaya hidup di Jepang. Masalah ini juga yang melatarbelakangi penurunan populasi yang drastis di China dan Korea Selatan.
Untuk mengatasi masalah keuangan keluarga, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menjanjikan langkah-langkah progresif, termasuk meningkatkan anggaran untuk kebijakan terkait anak. Menurut laporan Nikkei Asia, pemerintah memberikan subsidi sebesar 15 ribu yen per anak untuk keluarga yang memiliki anak hingga usia 18 tahun.
Subsidi lain sebesar 1 juta yen per anak akan diberikan kepada keluarga yang bersedia pindah dari Tokyo ke pinggiran kota. Skema subsidi ini di luar mandat 5 ribu yen per anak bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah, yang diberikan hingga anak berusia 16 tahun.
China, negara terpadat di dunia, mengalami penurunan populasi untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Menurut data Biro Statistik Nasional (NBS) China, populasi Negeri Tirai Bambu itu turun sekitar 850.000 jiwa.
Populasi China diperkirakan akan terus berkurang hingga tahun 2050 menjadi 200 juta. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah China telah mengambil beberapa langkah, salah satunya adalah mendorong generasi muda China untuk belajar mencintai alam, menjalani kehidupan dan menikmati kehidupan romantis selama liburan musim semi.
Negara-negara di Uni Eropa mengalami masalah yang sama. Sebuah laporan baru-baru ini dari Statistik UE menunjukkan bahwa ada ancaman penurunan populasi di seluruh bagian Benua Biru menjadi 420 juta orang pada tahun 2100. Ukraina, Italia, Portugal, Spanyol, Jerman, Rumania, Yunani, dan Polandia adalah negara dengan tingkat tertinggi proyeksi penurunan populasi di Uni Eropa.
Hantu Pengobatan Infertilitas Berbiaya Tinggi
Dalam laporan terbarunya, WHO secara khusus menyebutkan bahwa penanganan masalah kesuburan berbiaya tinggi merupakan salah satu tantangan bagi semua negara di dunia. Direktur Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO Pascale Allotey mengatakan ada masalah serius dalam aksesibilitas masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah ke perawatan medis untuk gangguan kesuburan.
Dikatakannya, masalah gangguan fertilitas masih dianggap remeh dan dianggap remeh oleh sebagian besar pemerintah dan akademisi di seluruh dunia. Padahal, kata dia, prevalensi 1 dari 6 penduduk sudah menjadi alarm untuk menangani masalah ini secara serius.
Allotey mengatakan, untuk saat ini belum ada skema perawatan kesuburan yang dijamin oleh pemerintah. “Sebagian besar ditanggung oleh pasangan itu sendiri dan menimbulkan beban keuangan yang sangat besar. Biaya yang tinggi membuat orang enggan mencari pengobatan kemandulan, tetapi jika mereka bersikeras mereka berisiko terjebak dalam kemiskinan,” katanya.
Di Indonesia, biaya pengobatan bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF) untuk mendapatkan anak berkisar Rp 30-65 juta per siklus. Sedangkan menurut riset Universitas Gadjah Mada, biaya bayi tabung bervariasi menurut kelompok umur, antara Rp 99-112 juta. Semakin tua pasien, semakin besar biayanya.
Menurut Allotey, di masa depan masalah infertilitas ini bisa menjadi jebakan kemiskinan bagi jutaan pasangan di seluruh dunia. “Kebijakan dan pendanaan yang memadai dapat melindungi rumah tangga berpenghasilan rendah agar tidak jatuh ke dalam perangkap kemiskinan untuk mengakses pengobatan infertilitas,” katanya. Selain itu, jaminan akses terhadap keadilan akan membantu negara mengatasi masalah infertilitas yang berdampak pada pertumbuhan penduduk.