Indonesia membutuhkan investasi lebih dari Rp 4.000 triliun untuk mencapai target emisi nol bersih yang dibutuhkan untuk mencegah perubahan iklim. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, transaksi energi penting untuk upaya pencegahan perubahan iklim yang dapat menimbulkan biaya besar bagi perekonomian.
“Pertumbuhan ekonomi global bisa turun 11% hingga 14% dalam setengah abad jika tidak ada upaya mengatasi perubahan iklim. Ini uang yang banyak dan berdampak besar pada sosial ekonomi dunia,” kata Perry dalam acara tersebut. . Seminar Tingkat Tinggi ASEAN 2023: Penyelarasan Kebijakan untuk Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, Kamis (30/3).
Hal ini menurutnya menjadi alasan mengapa Indonesia mengangkat isu keberlanjutan lingkungan dan ekonomi ke dalam tiga pilar strategi yang diangkat sebagai topik pertemuan saluran keuangan ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia.
“Pilar pertama membangun pemulihan ekonomi, kedua ekonomi digital, dan ketiga transisi menghadapi perubahan iklim. Ini sangat penting,” ujarnya.
Menurut Perry, ada tiga hal utama yang dibutuhkan untuk mendorong upaya transisi energi di ASEAN, yaitu keuangan politik, kerangka kerja transisi energi yang jelas, dan mobilisasi pembiayaan. Tanpa ketiga hal tersebut, menurutnya, upaya mendorong transisi energi untuk mencegah perubahan iklim tidak akan berhasil.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam diskusi berbeda mengatakan Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia telah berbagi peningkatan komitmen kontribusi nasional untuk mengurangi emisi dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional.
“Ini kami terjemahkan ke dalam kebijakan program, bahkan proyek. Karena itu, kami perkirakan kebutuhan dana mencapai US$ 281 miliar,” ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan sektor energi merupakan salah satu bagian terbesar dari pendanaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini terutama karena 60% sumber listrik di Indonesia masih berasal dari energi fosil, terutama batu bara. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah pensiunnya pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU.
“Ini tidak mudah karena kita tidak sekedar mengganti pembangkit. Rata-rata memiliki kontrak jangka panjang sehingga harus ada kompensasi. Belum termasuk dampak sosial ekonomi yang juga perlu dihitung,” ujarnya.
Tidak hanya perlu menghentikan pembangkit berbahan fosil, menurutnya pemerintah perlu memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat melalui pembangunan pembangkit energi terbarukan. “Jadi untuk negara besar seperti Indonesia, kita membutuhkan dua investasi yang sangat penting. Menghentikan batu bara membutuhkan biaya dan mengembangkan energi terbarukan juga membutuhkan investasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia mengumumkan platform yang dikembangkan pemerintah bersama ADB untuk mendorong transisi energi, yaitu Energy Transition Mechanism (ETM). Platform tersebut memiliki dua fungsi, yakni mencari pembiayaan bagi pensiunan pembangkit listrik dan membangun pembangkit dengan energi terbarukan.