liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI
Tak Hanya Richard Eliezer, Ini Deret Vonis Ringan Justice Collaborator

Richard Eliezer atau Bharada E divonis 1 tahun 6 bulan penjara dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Hakim membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2). ).

Bharada E terbukti secara sah dan tegas terlibat dalam rencana pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Namun, vonis yang dijatuhkan hakim jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa 12 tahun penjara.

Hukuman yang lebih ringan diberikan kepada Bharada E, karena hakim menilai ada hal-hal yang meringankan. Salah satunya adalah hakim yang menilai posisi Richard Eliezer sebagai saksi pelaku atau kolaborator keadilan.

Apa sebenarnya kolaborator keadilan itu, dan dalam berapa banyak kasus status terdakwa sebagai saksi pelaku dikurangi? Simak ulasan berikut ini.

Definisi saksi pelaku atau kolaborator keadilan

Mengutip lk2fhui.law.ui.ac.id, justice collaborator adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan informasi dan bantuan kepada penegak hukum.

Atas perbuatannya sebagai saksi terhadap pelaku, terdakwa dapat memperoleh pidana berupa pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi.

Penghargaan lain yang didapatkan oleh justice collaborator adalah pembebasan bersyarat, hukuman yang paling ringan dari terdakwa lain yang dinyatakan bersalah, perlakuan khusus dan sebagainya.

Ketentuan tentang justice collaborator tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Aturan tersebut berbunyi “Saksi yang juga menjadi tersangka dalam perkara yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan tindak pidana tersebut”.

Hal ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Pelapor dan Saksi Kolaboratif (Justice Collaborators).

Salah satu isi surat edaran ini adalah pedoman penetapan seseorang sebagai kolaborator keadilan. Pedoman yang dimaksud antara lain sebagai berikut.

Adalah salah seorang pelaku kejahatan tertentu, yang mengakui kejahatan yang telah dilakukannya. Bukan pelaku utama kejahatan. Memberikan kesaksian sebagai saksi dalam proses persidangan.

Selain itu, seseorang dianggap sebagai collaborator of justice jika jaksa dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti penting.

Keterangan dan/atau barang bukti yang diberikan berperan penting bagi penyidik ​​dalam mengungkap tindak pidana dan efektif mengungkap pelaku tindak pidana lainnya.

Seri Keputusan Ringan untuk Kolaborator Keadilan

Dalam peradilan Indonesia, penghargaan berupa hukuman ringan atau putusan ringan lainnya tidak hanya diberikan kepada Richard Eliezer.

Ada beberapa kasus besar di mana terdakwa menerima penghargaan karena statusnya sebagai kolaborator keadilan. Sedangkan beberapa kasus yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Kasus Korupsi Deputi Gubernur Senior BI (Agus Condro Prayitno)

Kasus korupsi ini menyeret nama Miranda Goeltom yang dituding menyuap 26 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 dalam pemilihannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI).

Kasus yang menjerat lebih dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 itu terungkap berdasarkan keterangan Agus Condro Prayitno. Dia adalah salah satu anggota DPR yang menerima cek perjalanan karena lulus dalam fit and proper test Miranda.

Dia melaporkan penerimaan cek senilai Rp 500 juta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyerahkannya ke lembaga antikorupsi. Dalam kasus ini, beberapa pelaku kejahatan divonis termasuk Miranda yang divonis tiga tahun penjara.

Namun, proses persidangan terhadap Agus tetap berlanjut, di mana. Majelis hakim Pengadilan Tipikor memutuskan bersalah dan divonis satu tahun tiga bulan penjara pada 16 Juni 2011.

Namun, pada 25 Oktober 2011 dia dibebaskan bersyarat, setelah menjalani dua pertiga dari hukuman penjaranya dan mendapatkan remisi. Pelepasan bersyarat ini merupakan bentuk apresiasi terhadap Agus Condro, karena telah berperan sebagai kolaborator keadilan.

2. Kasus penggelapan pajak Asian Agri (Vincentius Amin Sutanto).

Vincentius Amin Sutanto, pengawas keuangan grup Asian Agri, mengungkap penggelapan pajak yang dilakukan perusahaannya pada 2006.

Darmin Nasution selaku Dirjen Pajak saat itu, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri dari inspektur, penyidik ​​dan intelijen. Tim bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung.

Dari hasil penyelidikan, ditemukan pelanggaran administratif dan juga tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pihak di Asian Agri.

Vincent sendiri didakwa pasal pencucian uang. Alasannya, dia dan teman-temannya berusaha menarik uang Asian Agri. Atas perbuatannya tersebut, ia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara pada 3 April 2008. Namun, pada 11 Januari 2013 Vincent mendapat pembebasan bersyarat, karena dinyatakan sebagai kolaborator keadilan.

Contoh Hukuman Berat Meskipun Terdakwa adalah Collaborator of Justice

Tidak semua kolaborator keadilan mendapatkan penghargaan berupa hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, atau mendapatkan pembebasan bersyarat. Ada beberapa kasus dimana saksi pelaku justru mendapat hukuman yang lebih berat dari tuntutannya.

1. Kasus Korupsi dalam Pengadaan E-KTP

Dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini, ada dua terdakwa yang berstatus kolaborator keadilan. Keduanya merupakan pejabat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)

Dua orang dimaksud adalah mantan Dirjen Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, dan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman.

Dalam proses persidangan tahap pertama, Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 dan 5 tahun penjara pada 20 Juli 2017.

Majelis hakim menyatakan sedang mempertimbangkan status kolaborator keadilan, agar hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menaikkan hukuman masing-masing menjadi 15 tahun penjara.

Memang melalui pernyataan Irman dan Sugiharto sebagai kolaborator keadilan terungkap aktor lain yang lebih berperan termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto. Namun, hakim Mahkamah Agung menganggap perbuatan terdakwa itu masif.

Selain itu, tindakan yang dilakukan terkait kedaulatan pengelolaan data warga negara telah menimbulkan dampak yang dirasakan oleh masyarakat.

2. Kasus Korupsi Red Notice (Tommy Sumardi)

Tommy Sumardi adalah tersangka kasus dugaan korupsi pengurusan penghapusan daftar buronan terpidana korupsi Bank Bali Djoko Tjandra. Perannya dalam kasus ini adalah sebagai perantara korupsi dari Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi.

Pada 15 Desember 2020, permohonan Tommy sebagai kolaborator keadilan diterima dan dibacakan oleh jaksa di persidangan. Jaksa mengungkap beberapa hal yang meringankan, yakni Tommy mengakui perbuatannya dan bukan sebagai pelaku utama.

Sebagai kolaborator keadilan, ia juga dinilai telah memberikan informasi atau bukti yang signifikan dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku lainnya. Oleh karena itu, jaksa menuntut agar Tommy dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.

Namun, dalam vonis tertanggal 29 Desember 2020, majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonisnya 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Menurut majelis hakim, yang memberatkan Tommy adalah sikapnya yang tidak mendukung pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Tommy menyatakan tidak akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Alasannya, tidak mau mengikuti proses hukum yang berlarut-larut.