Sosialisasi proyek Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai sangat terbatas. Survei terbaru menunjukkan bahwa hanya 24% orang Indonesia yang tahu tentang proyek tersebut.
Think tank Celios bekerja sama dengan Unitrend melakukan survei terhadap 1.245 responden untuk melihat persepsi masyarakat terhadap JETP. Hasilnya, hanya 76% orang yang tahu tentang program tersebut. Peneliti Unitrend, Ignatius Ardhana Reswara mengatakan, informasi tentang JETP lebih dipahami masyarakat di Bali dibandingkan daerah lain.
“Sangat tepat karena JETP diluncurkan saat G20 di Bali,” ujarnya, Rabu (5/7).
Ignatius mengatakan, meski hanya 24% responden yang mengetahui tentang JETP, mereka sangat kritis terhadap proyek tersebut. Hasil survei, misalnya, menunjukkan bahwa responden menganggap penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir, pembangkit listrik co-firing, gasifikasi batu bara, dan panas bumi sebagai solusi yang harus dihindari. Salah satu alasan terkait proses transisi energi perlu dipertahankan agar menerapkan prinsip keadilan.
Temuan menarik lainnya dari jajak pendapat JETP adalah minat perempuan terhadap pekerjaan terkait transisi energi relatif rendah. Sebanyak 48% responden perempuan menyatakan tidak tertarik bekerja di sektor yang berkaitan dengan transisi energi, seperti energi terbarukan.
“Ada bias gender dalam transisi energi yang perlu diwaspadai oleh pemerintah karena sepertinya transisi energi adalah pekerjaan teknis untuk laki-laki,” ujarnya.
Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat tentang JETP masih sangat rendah dan cenderung terfokus pada penduduk di wilayah dan kelas ekonomi tertentu. Padahal yang terkena dampak adalah mereka yang berada di wilayah suplai batubara dan di lokasi sekitar PLTU. Mereka dianggap terlibat dalam merancang program JETP.
“Idealnya sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) diluncurkan, masyarakat terdampak dapat memahami dan berpartisipasi aktif dalam penyusunan program tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Komunikasi Sekretariat JETP, Adhityani Putri mengatakan, dokumen investasi alias Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP) akan diluncurkan pada 16 Agustus mendatang. Selain pelacakan pendanaan dan pengorganisasian program, Sekretariat juga sedang menyusun peta jalan transisi energi yang terkonsolidasi.
“Sampai dengan 16 Agustus jumlahnya masih bisa berubah,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyebut Indonesia mendapat hibah senilai US$ 320 juta dari program JETP atau sekitar 1,6% dari total pendanaan US$ 20 miliar. Namun, setengah dari hibah itu berupa bantuan teknis senilai US$ 160 juta.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan hibah dan bantuan teknis itu merupakan sumber pendanaan publik yang diberikan oleh International Partners Group (IPG) yang dijanjikan Amerika Serikat (AS), Jepang. dan beberapa negara. G7 ditambah Denmark, Norwegia dan Uni Eropa. Dadan mengatakan, sebagian besar dana hibah ditujukan untuk studi kelayakan.