Sebagian kalangan menilai pemberian insentif mobil hybrid senilai Rp40 juta per unit bertentangan dengan misi pemerintah untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, pakar energi dan pakar transportasi mengatakan, kebijakan pemberian insentif untuk mobil hybrid juga berpotensi menambah tingkat kemacetan di jalan raya.
Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, pemerintah perlu memiliki rencana yang jelas untuk mengalokasikan insentif bagi kendaraan listrik. Pemberian insentif pada mobil hybrid dinilai belum menyelesaikan masalah utama yakni beban impor BBM dan emisi gas rumah kaca.
“Soal pemberian insentif kendaraan listrik bukan hanya soal pengurangan polusi dan emisi gas rumah kaca. Bahkan harus mengurangi konsumsi BBM dan impor minyak. Selama ini, itu yang jadi masalah,” ujar Fabby kepada Katadata.co .id, Selasa (27/12).
Lebih lanjut, Fabby menilai pemberian insentif untuk mobil hybrid tidak mendesak untuk diterapkan. Pasalnya, mayoritas sumber energi mobil hybrid masih berasal dari bensin. Sedangkan penggunaan baterai sebagai sumber energi masih minim.
Fabby menuturkan, rata-rata penggunaan baterai pada mode listrik pada kendaraan hybrid hanya mampu menempuh jarak 50 kilometer (KM). Artinya, sebagian konsumsi bahan bakar masih akan terjadi pada mobil hybrid, kata Fabby.
Sejumlah pabrikan otomotif kini tengah menjajaki peluang untuk menjual mobil hybrid yang bisa menggunakan tenaga bensin atau baterai, salah satunya Toyota Kijang Innova Zenix hybrid yang dilengkapi mode electric vehicle (EV). Meski dilengkapi fasilitas EV, perseroan belum bisa memastikan seberapa jauh Innova Zenix bisa melaju dengan tenaga listrik sendiri tanpa ada intervensi mesin.
“Jarak tempuh saat mode EV tidak bisa ditentukan, tergantung kondisi mobil yang digunakan,” ujar Chief Engineer Toyota Motor Corporation, Hideki Mizuma, seperti dilansir GridOto, Selasa (29/11).
Insentif Moda Transportasi Massal
Fabby melanjutkan, penyaluran insentif kendaraan listrik harus menyasar moda angkutan umum yang bisa menampung banyak orang dalam satu waktu, seperti penambahan pengadaan bus listrik di TransJakarta. Menurutnya, penambahan armada bus listrik penting untuk mengurangi waktu tunggu penumpang dari keberangkatan satu bus ke bus berikutnya. Hal ini dinilai efektif untuk menarik migrasi pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, serta mengurangi tingkat kemacetan di perkotaan.
“Jarak waktu antara satu bus dengan bus lainnya tergantung besar kecilnya armada. Oleh karena itu, pembagian insentif pengadaan bus listrik perlu ditingkatkan agar lebih cepat,” ujar Fabby.
Sementara itu, Jakarta Smart City pernah membuat proyeksi data perbandingan panjang jalan yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Perhitungan ini melibatkan asumsi bahwa 100 orang berada di dalam kendaraan.
Jika 100 orang tersebut masing-masing menumpang kendaraan pribadi, maka panjang jalan yang dibutuhkan untuk mobil kurang lebih 510 meter, dengan asumsi jarak antar mobil satu meter. Sementara itu, panjang jalan yang dibutuhkan pengendara sepeda motor kurang lebih 85 meter dengan asumsi jarak antar sepeda motor 50 sentimeter.
Sebagai gantinya, hanya dibutuhkan satu bus Transjakarta Maxi yang berkapasitas hingga 100 penumpang. Satu unit bus hanya menempuh 13,5 meter panjang jalan dalam satu jalur.
Ketua Bidang Advokasi dan Kesejahteraan Masyarakat Asosiasi Angkutan Indonesia Djoko Setijawarno mengatakan, kebijakan insentif kendaraan listrik yang sedang disusun pemerintah masih belum tepat karena bisa menimbulkan masalah baru seperti kemacetan lalu lintas dan kecelakaan.
Ia berharap kebijakan ini harus ditinjau ulang. Kebijakan ini dinilai tidak menyebabkan masyarakat meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil untuk kendaraan listrik.
“Sebenarnya insentif itu hanya menambah jumlah kendaraan di jalan dengan kendaraan listrik. Sehingga kemacetan diperkirakan akan semakin parah,” kata Djoko dalam keterangan tertulis, Selasa (27/12).
Menurut dia, insentif kendaraan listrik harus dialokasikan untuk membeli bus listrik untuk angkutan umum. Hal ini akan mendorong penggunaan angkutan umum yang nyaman dan ramah lingkungan di tengah dominasi kendaraan pribadi yang sulit dikurangi.
“Kalau diberikan ke angkutan umum, kemacetan lalu lintas, polusi, dan kecelakaan bisa teratasi sekaligus,” kata Djoko.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya diberitakan mengatakan pemberian insentif kendaraan listrik akan mengurangi subsidi bahan bakar fosil.
Dengan bertambahnya jumlah kendaraan listrik diharapkan dapat mengurangi jumlah kendaraan berbahan bakar fosil yang saat ini masih disubsidi oleh pemerintah. Selain itu, manfaat lainnya bertujuan untuk mengurangi emisi gas. “Kami sebagai masyarakat global telah dapat membuktikan komitmen kami untuk mengurangi emisi gas,” kata Agus dalam keterangan video yang dikutip Kamis (15/12).
Agus menjelaskan, insentif yang akan dialokasikan untuk membeli mobil listrik berbasis baterai senilai Rp 80 juta per unit dan Rp 40 juta per unit untuk mobil berbasis hybrid. Selanjutnya, untuk insentif kendaraan roda dua, pemerintah mengalokasikan Rp8 juta untuk setiap unit sepeda motor listrik baru dan Rp5 juta untuk sepeda motor konversi dari konvensional ke listrik.