Penggunaan hidrogen dan amoniak merupakan salah satu rencana pemerintah untuk mencapai target net zero emission (NZE) tahun 2060. Keduanya dianggap sebagai sumber energi bersih pengganti bahan bakar fosil.
Menurut Roadmap Towards Net Zero Emissions in the Energy Sector in Indonesia yang diterbitkan International Energy Agency (IEA) pada Oktober 2022, listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga hidrogen ditargetkan mencapai 220 kW pada 2060.
Angka itu hampir menyentuh total permintaan saat ini di semua sektor. Namun, dokumen tersebut tidak merinci sektor mana yang akan menggunakan hidrogen hijau.
Laporan tersebut menulis bahwa pengembangan sumber energi hidrogen akan berlanjut secara bertahap seiring dengan berkurangnya peran pembangkit listrik bahan bakar fosil yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Namun, semua itu akan tetap sulit tanpa dukungan kebijakan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan dibutuhkan investasi sebesar US$ 800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk mencapai target kapasitas produksi green hydrogen sebesar 328 megawatt (MW) pada awal tahun 2030.
Nilai investasi diprediksi akan meningkat seiring dengan peningkatan produksi green hydrogen dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi green hydrogen Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi US$ 25 miliar.
Mahalnya biaya produksi green hydrogen disebabkan mahalnya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR menyebutkan biaya produksi green hydrogen di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3-US$ 12 per kilogram (kg), tergantung teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.
Biaya produksi hidrogen hijau diperkirakan turun menjadi sekitar US$ 2 per kilogram seiring persaingan harga dari produksi hidrogen dari bahan bakar fosil dengan teknologi carbon capture, use and storage (CCS) atau biasa disebut hidrogen biru.
Potensi untuk menggunakan hidrogen hijau, yang memiliki sifat fleksibel dan serbaguna, dipandang menarik bagi investor. Hidrogen hijau dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sektor energi, kimia, hingga metalurgi.
“Namun, ini membutuhkan kebijakan untuk membantu mengurangi biaya produksi energi terbarukan sebagai syarat utama untuk berkontribusi pada biaya produksi hidrogen hijau,” kata laporan itu.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan, bahan bakar hidrogen dan amonia dapat digunakan sebagai bahan bakar kapal, kereta api, truk berat, dan bus.
Selain digunakan sebagai sumber energi kendaraan, hidrogen dan amonia juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Feby mengatakan pengembangan hidrogen dan amoniak di dalam negeri masih belum optimal karena minimnya infrastruktur dan tingkat harga yang tidak ekonomis. Selain itu, kata Feby, selama ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pengembangan hidrogen dan amoniak.
Menurut Feby, produksi hidrogen di seluruh Indonesia saat ini berkisar US$ 5 hingga US$ 10 per kilogram (kg). Harga tersebut dinilai kurang kompetitif dan jauh lebih tinggi dibandingkan biaya produksi bahan bakar konvensional lainnya yang berada di kisaran US$ 4 per kilogram.
“Kurangnya pengembangan infrastruktur hidrogen dan juga mahalnya biaya produksi hidrogen dari sumber energi lain.