Sebagai wajib pajak, badan usaha wajib melaporkan penghasilan dari surat pemberitahuan berkala atau SPT Masa untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh).
Namun PPh yang terkait dengan wajib pajak badan usaha tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Namun beberapa seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.
Tentunya pelaporan SPT Berkala untuk jenis PPh yang berbeda akan merepotkan jika dilakukan satu per satu. Oleh karena itu, diperlukan alat untuk mempermudah proses pelaporan. Alat tersebut adalah SPT PPh Masa Konsolidasi.
Pengertian SPT PPh Masa Konsolidasi
Mengutip komwasjak.kemenkeu.go.id, SPT Masa Konsolidasi adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemotongan/pemungut PPh untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh, pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan/atau penyetoran sendiri beberapa jenis PPh dalam satu masa pajak.
Konsolidasi SPT PPh secara berkala bertujuan untuk mempermudah dan mengurangi biaya administrasi bagi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Awalnya, pelaporan dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis pajak penghasilan dengan format yang berbeda. Namun saat ini satu SPT dapat melaporkan beberapa jenis PPh dalam satu masa pajak.
Secara rinci, PPh yang dapat dilaporkan menggunakan PPh Konsolidasi SPT Berkala, adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 4 ayat (2) PPh Pasal 15 PPh Pasal 22 PPh Pasal 23 PPh Pasal 26
Sedangkan untuk SPT PPh Masa Pasal 21, wajib pajak tetap perlu melaporkannya secara tersendiri. Kemudian, untuk SPT Masa PPh Pasal 25 tidak lagi wajib lapor, selama wajib pajak memiliki penegasan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada surat SPT atau SSP.
Dasar Hukum Pelaksanaan Konsolidasi SPT Berkala PPh
Dasar hukum pelaksanaan SPT Masa PPh Konsolidasi adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021. Aturan tersebut mengatur tentang penyiapan bukti konsolidasi pemotongan/pemungutan dan penyampaian SPT Masa PPh Konsolidasi.
Peraturan ini merupakan pembaharuan dari peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2020.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 secara khusus tertulis bahwa pemegang/pemungut PPh yang memungut dan/atau memungut PPh harus menyerahkan bukti konsolidasi/pemungutan.
Kemudian pemegang/pemungut PPh juga menyerahkan bukti peleburan/pemungutan kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut. Kemudian, juga wajib melaporkan bukti konsolidasi/pengumpulan ke DJP dengan menggunakan PPh Penyatuan SPT Berkala.
Bukti pemotongan/pemungutan SPT Masa Penggabungan dan Penggabungan PPh dimaksud, merupakan dokumen elektronik. Dokumen ini dibuat dan dilaporkan melalui aplikasi e-Bupot Penyatuan.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 juga disebutkan bahwa bukti konsolidasi holding/collection harus memuat beberapa pernyataan sebagai berikut:
Jumlah bukti penangkapan/pengumpulan konsolidasi. Jenis pemotongan/pemungutan PPh. Identitas pihak yang ditahan/dikumpulkan berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NIK) dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak. Masa pajak dan tahun pajak. Kode objek pajak. Dasar pengenaan pajak. Tarif. PPh dipotong/dipungut/ditanggung oleh Pemerintah. Tanda tangan PPh dipotong/dikumpulkan/penggabungan suara Kode verifikasi.
Sedangkan Konsolidasi SPT Masa PPh sendiri wajib memuat beberapa pernyataan antara lain:
Masa pajak dan tahun pajak. Status surat pemberitahuan itu normal atau koreksi. Identitas Pemegang/Pengumpul PPh. tipe PPh. Besarnya PPh yang dibayar dalam SPT yang dikoreksi. Jumlah PPh yang kurang dibayar karena koreksi. Tanggal pemotongan/pemungutan dan tanggal penyetoran PPh Nama dan tanda tangan pemotong atau kuasa PPh.