liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Kisah Sukses Hammer, 35 Tahun Beroperasi Hingga Dipamerkan Jokowi

Presiden Jokowi dan para menteri sempat mengunjungi Living World Mall di sela-sela kunjungan kerja ke Pekanbaru, Rabu (4/1). Malam itu, delegasi negara memasuki toko pakaian Hammer, memilih beberapa produk, dan terakhir membeli sweter.

“Ini baru beli brand asli Indonesia, Hammer,” kata Jokowi usai memamerkan sweater barunya.

Meski brand ini dinamai dari bahasa Inggris, Hammer merupakan brand lokal yang sudah berdiri selama 35 tahun. Hammer didirikan bersamaan dengan perusahaan tekstil yang menaunginya, PT Warna Mardhika. Pendirinya adalah Eddy Hartono dan kini kepemimpinan perusahaan telah dialihkan kepada anaknya, Mario Hartono.

Kebangkitan dan Kejatuhan Tiga Dekade Warna Mardhika

Mario Hartono mengatakan kepada Katadata bahwa ayahnya sebenarnya tidak memulai bisnisnya sebagai perusahaan fashion, tetapi menjahit manufaktur. Hanya beberapa tahun kemudian, Eddy Hartono memutuskan untuk membuat merek pakaian untuk dijual.

Pada tahun 1970-an, Eddy meluncurkan Lacoupe sebelum memperkenalkan Hammer pada tahun 1987. Namun, Hammer tampaknya lebih populer daripada Lacoupe. Mario mengatakan nama Hammer dipilih karena dianggap sebagai kata yang kuat. Merek ini dikenal luas karena pilihan warnanya yang berani dan semakin populer karena dipakai oleh berbagai figur publik.

“Palu ini adalah kata yang kuat dan unik pada tahun 1987. Ayah saya melihat bahwa dulu tidak ada brand lokal yang benar-benar membuat konsep yang kuat,” ujarnya saat dihubungi Katadata melalui sambungan telepon.

Mengikuti kesuksesan Hammer, PT Warna Mardhika meluncurkan merek baru bernama Nail, sekitar delapan tahun kemudian. Nail membidik pasar pakaian pria kelas menengah ke atas dengan menggunakan linen yang lebih premium.

Tidak berhenti dengan dua brand, pada tahun 2007 perusahaan melebarkan sayapnya ke produk T-shirt melalui brand Coconut Island. Jika Hammer and Nail diluncurkan oleh Eddy Hartono, Pulau Kelapa adalah ide Mario sendiri. Ia mengatakan, ide ini bermula saat ia dan ayahnya melakukan perjalanan ke Amerika Serikat pada 2008 dan menemukan bahwa kaos oblong sedang menjadi tren.

“Baiklah, mari kita coba membuat brand konsep kaos. Tapi saya tidak ingin sama dengan distribusi kaos, saya ingin membuatnya unik, bukan hanya desainnya tapi juga bahannya,” jelas Mario.

Meski mengusung tema berbeda, Pulau Kelapa tidak serta merta diterima secara retail. Mario mengenang, idealisme bahan premium dengan harga Rp 200.000 tidak diterima oleh pusat perbelanjaan saat itu. Apalagi Pulau Kelapa hanya menawarkan satu produk, yaitu kaos.

Namun Mario berhasil mengatasi masalah tersebut dengan menghadirkan SOGO Merchandiser Direct Manager. Dalam penuturannya, pengusaha yang berlatar belakang dunia fesyen ini menganggap menarik konsep Pulau Kelapa. Ia pun menyediakan lokasi penjualan di Plaza Senayan, tepat di sebelah brand internasional seperti French Connexion.

“Jadi penjualan Pulau Kelapa di sana tidak jauh berbeda dengan French Connexion. Dari situlah orang-orang mulai mengenal kami sebagai brand outdoor. Pulau Kelapa juga diberikan tempat khusus untuk berjualan di luar department store,” kata Mario.

Pulau Kelapa berkembang lebih lanjut pada tahun 2009 dengan peluncuran Coconut Island Kids. Sesuai dengan namanya, brand ini fokus mengembangkan kaos untuk anak-anak. Memasuki tahun 2016, brand terbaru yang dirilis oleh Warna Mardhika adalah Osprey, brand yang berfokus pada pakaian pria. Brand ini terinspirasi dari gaya pakaian remaja Irlandia yang cenderung casual namun tetap stylish.

Setahun kemudian, merek Hammer berkembang dengan dirilisnya Hammer Active. Merek keenam ini mengusung pakaian olahraga untuk wanita dan pria.

Semoga Mendunia

Setelah menempuh perjalanan selama 35 tahun, kini Warna Mardhika memiliki 120 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka tersebut, menurut Mario, menurun signifikan dibandingkan era sebelum pandemi yang dulu mencapai 250 cabang.

“Itu karena ada beberapa convenience store yang tutup juga. Dan juga kita bersihkan dulu, agar beban perusahaan tidak semakin berat,” ujarnya.

Meski jumlah toko pakaian semakin berkurang, Mario kini berencana untuk memperkuat konsep unik dari masing-masing cabang. Selain itu, pihaknya juga akan memperluas jenis produk dari masing-masing brand miliknya, mulai dari Hammer, Nail, dan Coconut Island.

Usai kunjungan Presiden Jokowi, Mario dan timnya juga berencana mengulang konsep Bangga Buatan Lokal. Menurutnya, berbagai brand lokal sudah memiliki kualitas untuk bisa bersaing dengan brand global dan harus bisa unggul di negeri sendiri.

“Untuk itu kami juga berharap agar pusat perbelanjaan memberikan lokasi yang lebih baik, jangan remehkan brand lokal. Nanti kalau ada teman-teman brand lokal yang mau berkolaborasi, ayo,” kata Mario.