Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf atas praktik perbudakan dari abad ke-17 hingga ke-19. Perdana Menteri Mark Rutte mengakui kolonisasi koloni di luar Eropa, seperti Suriname, Aruba, dan Indonesia, tidak boleh dibiarkan.
“Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara ini di masa lalu,” kata Rutte dalam konferensi pers di Den Haag, Senin (19/12).
Di Indonesia, Belanda menggunakan East India Company alias VOC untuk memonopoli kegiatan perdagangan di Asia sejak tahun 1602. Meski VOC dibubarkan pada akhir tahun 1799, peninggalan bekas perusahaan Belanda ini masih bisa dilihat di beberapa kota, bahkan digabung. menjadi beberapa Badan Usaha Milik Negara alias BUMN.
Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Setelah perundingan pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di tanah air. Kebijakan nasionalisasi ini adalah UU No. 86/1958 diundangkan pada tanggal 31 Desember 1958. Peraturan ini juga menyebutkan bahwa tindakan nasionalisasi pada waktu itu dilakukan untuk memperjuangkan batalnya keputusan Konferensi Meja Bundar alias KMB dan pembebasan Irian Barat.
“Sudah saatnya mengeluarkan tindakan tegas terhadap perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah NKRI berupa nasionalisasi perusahaan milik Belanda menjadi milik negara,” bunyi perpres tersebut.
Untuk mempercepat program nasionalisasi ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 tentang Pendirian Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS). Dalam peraturan ini, terdapat 14 badan atau komite yang menampung perusahaan Belanda yang akan dinasionalisasi. Mulai dari sektor perkebunan, farmasi, industri, pertambangan, hingga sektor asuransi.
Lima Besar Menjadi Badan Usaha Milik Negara
Sektor perdagangan pun tak luput dari nasionalisasi. Sekitar 30 perusahaan perdagangan Belanda dan cabang-cabangnya kemudian dilebur menjadi PT Negara yang didirikan oleh Badan Urusan Dagang (BUD). Dari 30 perusahaan tersebut, terdapat lima perusahaan besar yang dikenal dengan The Big Five. Mereka adalah Borsumij, Internatio, Jacobson van Den Berg, Lindeteves Stokvis dan Geo Wehry.
Menurut Historia, PT Negara yang menaungi seluruh perusahaan tersebut kemudian dibagi menjadi sembilan Bhakti yaitu:
Budi Bhakti (Borsumij), Aneka Bhakti (Internatio), Fadjar Bhakti (Jacobson van Den Berg), Tulus Bhakti (Lindeteves), Marga Bhakti (Geo Wehry), Djaja Bhakti (Usindo, State Services, and NV Everard & Co.), Tri Bhakti (Perusahaan Dagang Pusat), Sedjati Bhakti (Jasa Material Penting), Sinar Bhakti (Java Steel Stokvis)
Lima Besar telah melebur menjadi tiga BUMN Niaga yaitu Tjipta Niaga, Dharma Niaga dan Pantja Niaga. Pada bulan Juni 2003, pemerintah memutuskan untuk menggabungkan ketiga Badan Usaha Milik Negara ini menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) alias Indonesia Trading Company (ITC). PPI merupakan satu-satunya BUMN perdagangan yang bergerak di bidang ekspor, impor dan distribusi.
Toko Merah, VOC, dan PPI
Salah satu peninggalan The Big Five yang masih bisa dikunjungi adalah Toko Merah di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Barat. Berusia hampir tiga abad, bangunan ini menonjol dari sisa bangunan di kawasan itu.
Awalnya bangunan ini merupakan kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Ia juga membangun gedung ini pada tahun 1730, sebelum menjabat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1743 hingga 1750.
Saat itu Toko Merah berada di posisi strategis: dekat dengan balai kota sebagai pusat pemerintahan dan Kali Besar sebagai pusat bisnis. Namun karena keunggulan tersebut, Toko Merah digunakan sebagai akademi maritim dari tahun 1734 hingga 1755.
Meski nama Toko Merah diambil dari cat merah yang menutupi batu bata bangunannya, warna ini baru muncul pada tahun 1923. Sejarawan Adolf Heuken dalam bukunya Tapak Bersejarah Jakarta mengatakan bahwa pada awalnya batu bata yang belum diplester itu dicat putih. Baru pada tahun 1923, direksi Bank voor Indie berubah warna menjadi merah.
Pandangan yang sama juga diungkapkan Thomas B. Ataladjar di Toko Merah. Namun, ia meyakini bangunan tersebut dicat merah sejak dibeli oleh seorang Tionghoa bernama Oey Liauw Kong pada tahun 1851. Oey Liauw Kong menggunakan bangunan tersebut sebagai toko, dan diteruskan oleh kedua putranya, Oey Hok Tjiang dan Oey Kim Tjiang hingga 1895.
“Ini memungkinkan popularitas nama Toko Merah sejak pertengahan abad ke-19, jauh sebelum dipulihkan oleh Bank voor Indie pada tahun 1923,” tulis Ataladjar.
Tidak hanya Bank voor Indie, salah satu dari The Big Five, yaitu NV Jacobson van Den Berg, telah menggunakan gedung ini sebagai kantor sejak tahun 1934. Pada masa pendudukan Jepang, pimpinan sekaligus perwira Jacob Berg tercatat dibunuh oleh tentara Nippon. Toko Merah akhirnya diubah menjadi gedung layanan kesehatan militer. Menurut catatan Historia, saat Jepang menyerah kepada Sekutu, gedung ini digunakan oleh NV Nigeo Export. Jacob Berg kembali ke gedung pada tahun 1946.
Namun tidak berlangsung lama, ketika nasionalisasi perusahaan Belanda terjadi pada akhir tahun 1950-an, Serikat Buruh Jacob Berg mengambil alih perusahaan dan mengibarkan bendera merah putih di Toko Merah.
Setelah nasionalisasi, Toko Merah menjadi milik Indonesia di bawah PPI. Sejak tahun 1993, Toko Merah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Untuk itu, PPI pun merenovasi Toko Merah bersama Dinas Rehabilitasi dan Museum DKI Jakarta.
Sementara itu, PPI pernah beroperasi di gedung bersejarah ini, sebelum pindah ke Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat pada tahun 2003. Kini gedung ikonik ini digunakan sebagai gedung persewaan atau gedung pertemuan.