Kementerian ESDM berupaya menjamin kesinambungan pasokan biomassa untuk PLN dengan mendorong para pemegang izin usaha pertambangan batubara dan konsorsiumnya untuk berkontribusi dalam penyediaan biomassa.
Selain itu, Kementerian juga berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dukungan pengembangan hutan tanaman energi untuk mendorong PLN bersama Perhutani serta PTPN III dan PT. Sang Hyang Seri dalam penyediaan bahan baku biomassa.
Pernyataan ini juga menjawab keluhan PLN yang mengalami kendala dalam memperoleh pasokan biomassa sebagai bahan bakar campuran pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang belum optimal karena keterbatasan ketersediaan bahan baku.
Dirjen Energi Terbarukan dan Konservasi Energi yang baru, Dadan Kusdiana mengatakan, Panitia Teknis Kementerian ESDM telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk beberapa jenis biomassa, antara lain bahan bakar biomassa padat, pelet biomassa, kayu kripik, serbuk gergaji, tempurung kelapa kelapa sawit dan sekam padi.
Menurut Dadan, pembuatan SNI ini akan menjadi acuan untuk menjaga standar kualitas biomassa yang akan digunakan.
Penyerapan penggunaan biomassa PLN untuk batu bara campuran atau co-firing untuk pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) mencapai 220.000 ton pada triwulan I 2023. Angka tersebut setara dengan 20% kebutuhan biomassa untuk 34 pembangkit listrik tenaga batu bara. tahun ini sebesar 1,08 juta ton. .
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, Kementerian ESDM juga memfasilitasi kerja sama kemitraan bisnis pasokan biomassa antara pemasok dan PLTU. “Kami juga mendorong penyediaan biomassa dari swasta dan masyarakat dengan dukungan lembaga swadaya masyarakat,” kata Dadan kepada Katadata.co.id, Rabu (26/4).
Sebelumnya, Corporate Secretary PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Mamit Setiawan mengatakan, pasokan biomassa selama ini umumnya masih berasal dari produk sampingan.
Kendala minimnya pasokan biomassa bersumber dari harga biomassa untuk pembangkit listrik yang dibatasi oleh harga patokan tertinggi atau HPT batubara. Hal ini mempengaruhi sikap produsen yang memilih untuk menjual produk biomassanya ke pasar ekspor.
“Saat ini perhitungan harga biomassa pembangkit PLTU hanya sebatas HPT maksimal batubara di PLTU,” ujar Mamit kepada Katadata.co.id, dihubungi terpisah.
Menurut Mamit, Indonesia akan mengalami kerugian akibat ekspor Biomassa. Pengembangan green energy akan terhambat, sebaliknya sebagian besar pasokan energi dalam negeri masih dipenuhi oleh impor energi fosil berupa BBM dan LPG yang mahal.
Kata Mamit, ekspor biomassa kerap dibarengi dengan penjualan nutrisi ke luar negeri. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kesuburan tanah di Indonesia.
“Produksi biomassa dalam negeri tentu membutuhkan energi yang meningkatkan emisi karbon. Namun, jika diekspor, pemanfaatan biomassa rendah emisi akan dinikmati oleh negara lain. Emisi di Indonesia meningkat, sementara emisi di negara lain menurun,” kata Mamit.