Langkah menuju net zero emission atau nol emisi karbon cukup menantang bagi Indonesia. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan energi yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sehingga penggunaan energi fosil yang lebih murah tetap diperlukan.
Kepala Ahli SKK Migas Luky A. Yusgiantoro mengatakan emisi karbon akibat penggunaan energi berbasis fosil, khususnya minyak dan gas (migas) masih bisa diminimalisir dengan penerapan teknologi carbon capture, use and storage (CCUS). .
CCUS dapat mengurangi emisi karbon dengan menangkap karbon, baik karbon dari kegiatan industri maupun dari udara secara langsung, dan menyimpannya dalam formasi geologi. Namun, penerapan teknologi ini secara besar-besaran masih terkendala dengan nilai investasi yang besar, sehingga perlu dukungan atau insentif.
“CCUS merupakan value chain, mulai dari penangkapan, transportasi, hingga penyimpanan. Dimana ekonomi penangkapan dapat mencapai 73% dari total biaya,” ujar Luky dalam webinar Optimalisasi Kebijakan dan Implementasi Pengembangan Teknologi Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon untuk Dukung Energi Ramah Lingkungan, Rabu (21/12).
Ekonomi atau efisiensi penggunaannya adalah salah satu dari tiga perspektif yang harus diperhatikan di CCUS, selain teknologi itu sendiri dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
Principal Energy Data Analysis Consultant Chakra Giri Energi Indonesia Tjipto Juwono mengungkapkan penangkapan emisi karbon di atmosfer dan industri secara global mencapai 7,6 miliar ton per tahun, dan hanya 200 juta ton per tahun yang digunakan.
“Ini merupakan tantangan yang perlu dilakukan Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana tertuang dalam NDC, di sisi lain membutuhkan banyak energi untuk pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia saat ini memiliki 15 proyek teknologi CCUS yang sedang dalam tahap studi desktop hingga tahap pilot project. Dua di antaranya telah dilakukan di Padang Gundih, Sukowati, dan yang pertama di Padang Tangguh.
Untuk mengoptimalkan penerapan CCUS dalam mencapai target NZE, pada tahun 2030 dibutuhkan 25% teknologi CCUS yang saat ini masih dalam tahap pilot project, dan pada tahun 2050 separuh dari upaya pengurangan CO2 direncanakan berasal dari teknologi CCUS yang juga masih dalam tahap pilot project.
CEO dan Founder Chakra Giri Energi Indonesia, Herman Huang menilai penggunaan aplikasi CCUS sangat penting untuk mengurangi emisi karbon. Namun demikian, teknologi yang terus dikembangkan harus mencapai tingkat yang berkelanjutan dan menguntungkan.
“Karena implementasi CCUS saat ini masih terkendala dengan ekosistem yang belum siap. Terutama mengenai masalah teknis yang masih membutuhkan penelitian dan peningkatan teknologi yang lebih baik,” ujarnya.
Implementasi CCUS ke depan akan menghadapi berbagai tantangan, strategi yang dapat dilakukan adalah melanjutkan studi penelitian dan peningkatan teknologi CCUS, perlunya kolaborasi dan kerjasama dengan industri, pemerintah dan akademisi, serta perlu integrasi khusus untuk menekan biaya. .
Namun, Huang optimis penerapan CCUS di Indonesia dapat menjadi salah satu opsi strategis untuk mencapai emisi nol bersih. Terutama di sektor migas yang masih sangat dibutuhkan, atau di industri yang jejak karbonnya sulit dihilangkan.
“Aplikasi CCUS tidak akan menghalangi transisi energi menuju energi bersih, tetapi secara paralel dapat dikembangkan sebagai upaya pelengkap menuju net zero emission. Karena transisi energi tidak bisa dilakukan secara bersamaan,” ujarnya.