Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pagu emisi yang ditetapkan pemerintah dalam perdagangan karbon di sektor PLTU masih terlalu tinggi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan batas atas emisi sebesar 1.297 ton CO2e/MWH untuk pembangkit listrik mulut tambang berkapasitas 25 MW hingga 100 MW. Sedangkan batas atas emisi PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyambut baik implementasi perdagangan karbon di sektor PLTU. Dia menilai, pendapatan perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang jika dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi.
“Walaupun skema perdagangan karbon telah diterapkan dengan baik di Indonesia, pagu emisi karbon yang ditetapkan pemerintah masih cukup tinggi dan tidak perlu ada upaya dari pemilik PLTU untuk memenuhinya.
Fabby mencontohkan, intensitas emisi karbon PLTU di negara tetangga sekitar 20%-40% lebih rendah dari Indonesia. Penetapan pembatasan kuota PLTU juga dinilainya akan meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur pengoperasian PLTU secara lebih efisien.
Lebih lanjut, perdagangan karbon ini juga mengatur penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi di atas batas atas. Pembangkit listrik tersebut harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah batas atas dan atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK).
“Untuk meningkatkan integritas mekanisme offset dan dampak nyata penurunan emisi dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah perlu memastikan standar kegiatan penurunan emisi yang dapat diperdagangkan di pasar karbon,” ujarnya.
Dia juga menyarankan agar SPE diprioritaskan daripada pembangkit energi terbarukan untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi. IESR menyarankan agar dilakukan SPE untuk mempercepat pemasangan PLTS rooftop oleh konsumen. Listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap dan diekspor ke jaringan dapat berupa SPE, dan digunakan untuk mengimbangi karbon. Pendapatan dari penjualan SPE dapat meningkatkan minat konsumen untuk memasang PLTS rooftop.
Pelaku usaha yang lalai ikut serta dalam perdagangan karbon akan diberikan teguran tertulis dari Menteri ESDM dan akan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75%.
“Adanya pembatasan kuota yang diberlakukan pemerintah terhadap pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan wujud nyata komitmen pemerintah terhadap perdagangan karbon sebagai instrumen pengurangan emisi. Namun, dalam praktiknya membutuhkan pengawasan yang ketat,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau IESR.
Pemerintah telah menetapkan batas emisi untuk 99 unit pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon. Semuanya mewakili total kapasitas terpasang sebesar 33.569 MW. Harga karbon yang diperjualbelikan antar unit PLTU di negara ini diperkirakan antara US$ 2 hingga US$ 18 per ton.
“Peraturan Kementerian Keuangan tentang pengendalian harga karbon bisa segera diterbitkan untuk memastikan kegiatan perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang dikenakan tidak terlalu jauh dari harga rata-rata dunia,” tambah Farah.